Perkara ini berawal pada Selasa, 12 Agustus 2025 sekitar pukul 06.30 WITA. Tersangka Herman berjalan melintasi kios milik korban Arif Rahman Hakim di Desa Bungur Baru, Tapin. Saat itu, tersangka mengambil beberapa bungkus rokok dan uang tunai sebesar Rp200.000, kemudian meninggalkan tempat kejadian. Akibat perbuatannya, korban mengalami kerugian sekitar Rp4.837.000.
Dalam proses mediasi yang digelar pada 20 Oktober 2025, tersangka mengakui kesalahannya dan meminta maaf kepada korban. Korban pun memaafkan dan meminta agar proses hukum dihentikan. Berdasarkan kesepakatan damai tersebut, Kejaksaan Negeri Tapin mengajukan permohonan penghentian penuntutan kepada Kejaksaan Tinggi Kalimantan Selatan. Setelah ditelaah, Kepala Kejaksaan Tinggi sepakat menghentikan penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.
Persetujuan penghentian perkara itu kemudian disetujui JAM-Pidum dalam ekspose Restorative Justice yang dilaksanakan pada Selasa (28/10).
Selain kasus di Tapin, JAM-Pidum juga menyetujui sembilan perkara lain untuk diselesaikan dengan pendekatan restorative justice. Beberapa di antaranya:
-
Al Mujahidin alias Hidin – Kejaksaan Negeri Morowali, perkara penodaan agama dan perusakan (Pasal 156a jo. Pasal 406 KUHP).
-
Usman Ibrahim bin Mail – Kejaksaan Negeri Penajam Paser Utara, perkara pengancaman (Pasal 335 KUHP jo. UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951).
-
Maman Susanto alias Maman bin Marto – Kejaksaan Negeri Ketapang, perkara penadahan (Pasal 480 KUHP).
-
Agus Binus Apili alias Binus dan Yeremia Oktavianus alias Nton – Kejaksaan Negeri Sanggau, perkara pengeroyokan (Pasal 170 KUHP).
-
Amri Holong Silaban – Kejaksaan Negeri Humbang Hasundutan, perkara pencurian (Pasal 362 KUHP).
Kejaksaan Agung menegaskan, penerapan restorative justice bertujuan untuk mengedepankan pemulihan hubungan antara pelaku, korban, dan masyarakat tanpa mengabaikan rasa keadilan,, Cyberlawnews.com Yoga.I & Team
Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Republik Indonesia 
Akurat, Independen & Terpercaya
